Like & Share – Catatan Produksi

https://www.instagram.com/p/Cl48U9jS0zDAiVcZKfPOORPKfbUUAChhnz4z600/

Setelah kehebohan dunia akibat pandemi, rasanya ngga mudah menentukan cerita apa yang penting buat kita bikin selanjutnya. Karena biasanya, cerita adalah salah cara kami merespon hal yang terjadi di sekitar kita.  Saya kepikiran ngajakin Gina untuk create Classic Love Story. Berjam-jam nyoba brainstorm di ruangan penulis waktu itu. Sempat keluar juga sih beberapa ide yang seru dan kocak. Tapi ngga ada yang bener-bener bikin kita bilang “Okay. This is it. We have to do this. Now!”, hingga akhirnya Gina ngeluarin ide Like & Share. Cerita tentang 2 remaja perempuan yang lagi eksplor seksualitas dan sensualitas.

Such an intriguing ideas. I love it.

Cerita ini kemudian membawa kami ke dalam diskusi soal wether or not porn good for you, okay at some point lo “belajar” dari porn, but at what cost, dan masa iya lo belajar seks dari porn? dan sederet pertanyaan basic lainnya yang kami alami saat remaja disandingkan dengan realita generasi sekarang yang harus menghadapi semuanya dalam 2 dunia yang berbeda: dunia nyata dan internet.

 
Yang langsung kepikiran saat itu adalah gimana caranya kita membuatnya dengan benar. Atau paling ngga mencoba menjaga proses kerjanya aman, dan nyaman bagi semua orang yang terlibat. Apalagi setelah baca skenarionya. Wadidaw. Oke, ini salah satu skenario draft 1 yang saya suka banget, ngga pake ragu dan langsung klik. Tapi di saat yang sama, juga langsung bikin mikir how are we going to do this?


Kami percaya masa development skrip dan pra produksi adalah masa yang krusial. Di sini waktunya untuk kita set the standart: film seperti apa yang akan kita buat, produksi seperti apa yang akan kita jalankan. Makanya di awal pra produksi ini, kita berpartner dengan LBH APIK yang kesehariannya berhadapan dengan kasus-kasus terkait kekerasan berbasis gender. LBH APIK dengan baik hati membuka diri untuk kita bisa riset, dan kroscek hal-hal detail dalam skenario. LBH APIK juga membantu untuk menghadirkan materi seminar kecil mengenai Kekerasan Seksual yang ditujukan seluruh orang yang terlibat dalam film, sehingga mereka paling ngga memiliki pemahaman yang sama dan menerapkan pengetahuan ini di lingkungan kerja nantinya. Dalam pengembangan skenario, Gina juga melibatkan para aktor, sehingga karakternya lebih genuine dan otentik.


PR lain yang paling menantang pikiran waktu itu adalah gimana caranya kita bisa bikin adegan intim yang aman bagi semua orang. Di produksi ini, untuk pertama kalinya kita eksplor standar keamanan untuk menjalankan adegan-adegan ini. Selain pendampingan oleh psikolog (makasih Mba Zoya Amirin sudah mau ikut terlibat), kita tahu kita butuh intimacy coordinator atau intimacy coach. Setelah nyari kesana kemari dan ngga nemu intimacy coordinator yang memungkinkan buat diajak kerjasama, akhirnya kita mempelajari sendiri. Beruntung dalam tim ini kita punya Rum, our talented acting coach yang bisa diajak untuk duduk bareng bikin kurikulum untuk intimacy scenes. Beruntung juga kita dapat saran-saran yang membangun dari intimacycoach di UK sana yang dengan baik hati memberikan segambreng rekomendasi buku dan SOP yang jadi standar mereka (FYI, SOP ini juga bisa diakses gratis di website mereka) untuk kita pelajari. Alhamdulillah SOP-nya berguna banget buat kita aplikasikan dalam proses ini. Mulai dari menyiapkan ruang yang aman, alat pelindung, hingga safe words, dan hal-hal lain yang baru banget untuk industri film di Indonesia (well, di dunia juga konon baru belakangan ini banyak yang mengaplikasikan ini). *Special shout out ke Dara yang udah go extra miles buat memastikan wardrobe pelindung yang pas (on cam dan off cam) buat aktor-aktor kita)

Sarah & Lisa. Difoto oleh Tri Ratna.


Salah satu yang baru kita alami adalah merancang adegan intim seperti bikin adegan action. Yep. Perlu membuat koreografi, alat pendukung keamanan, dll. Dan ya, tentu saja untuk bikin koreografi, harus melibatkan aktor yang willing to do the coreography work. Beruntung lagi kita ketemu dengan Anne dan Bismo yang sangat-sangat membantu untuk kita bisa menemukan koregrafi yang baik. Gina dan Deska sebagai sutradara dan DP juga sangat eksploratif untuk nyari kemungkinan2 shot yang aman tanpa mengurangi kualitas adegan. Asik banget melihat kolaborasi mereka (asik dan lega lebih tepatnya. Fffiuh ðŸ¤£ðŸ˜¬). Modal koreografi ini memudahkan untuk aktor aslinya mengaplikasikan adegannya. Dan bersyukur banget juga both Arawinda dan Jerome sama-sama punya etos yang baik selama proses latihan, yang tentu memudahkan seluruh prosesnya.

Another PR terbesar untuk film ini  adalah menggarap adegan-adegan yang berhubungan dengan makanan, yang tentu memiliki kerumitannya tersendiri. Perlu banyak sekali workshop untuk membuat adegan makanan ini bisa berpadu dengan baik dengan kamera. Mulai dari bentuk makanannya, komposisi, timing gerak, dan sederet hal teknis lainnya. Tapi no problem lah selama kita bisa punya space, kemauan dan keteguhan hati untuk mempersiapkan semuanya sebaik-baiknya di masa pra produksi. Well, thank god ada Dita dan Deta si pelawak yang nyamar jadi anak metal dan food stylist yang bikin suasana workshop makanan jadi ngga berasa…  tau2 udah 12 jam… LOL.


Di ruang editing, kami juga bersyukur bisa kembali berkolaborasi dengan Mba Aline Jusria. Ngga kebayang kalau film ini diedit oleh orang lain. Huhu. Sebagai perempuan, Mba Aline banyak nyambungnya sama Gina. Pengalaman ngga enak jadi perempuan juga ngasih nuance sendiri dalam tiap keputusan pemotongan gambar. Terutama di beberapa scene Sarah dan Devan.

Untuk suara dan musik, kali ini kami berkolaborasi dengan Aria Prayogi bersama tim Alunan Studio yang berbasis di Jakarta. Kenapa perlu saya mention basisnya Alunan di mana, karena selama proses ini, Ogi (nama panggilan Aria Prayogi) harus bekerja dari belahan dunia lain, di Skotlandia tepatnya. LOL.

Film Like & Share memang sedari awal diniatkan untuk memberi ruang yang besar, tidak hanya untuk departemen visual, tapi juga departemen suara. So that’s pretty much what we’re trying to do here.

Kejutan seru malah terjadi saat grading. Di titik inilah kami yakin bahwa memang film ini milih jodohnya sendiri dengan siapa dia akan dikerjakan. Untuk grading, pertama kalinya kami bekerjasama dengan Mas Andhy Pulung (Super 8MM Studio). Kerjasama dengan Mas Pulung menyulut kegilaan-kegilaan di masa pra produksi. Mungkin juga karena efek freeflow kopi (iya di super 8mm studio ada barista standby buat asupan kopi kita), atau efek geek bersatu, ngga hanya kita bisa mengaplikasikan warna yang ciamik, kita juga punya ruang untuk menghadirkan… PERUBAHAN ASPEK RATIO.

Yoi. Film ini awalnya didesign dengan aspek ratio 1.185 (Well, sebelumnya konon ada rencana dengan Gina juga untuk bikin 3:2). Sebelum our beloved DOP, Deska Binarso punya temen yang menyambut kegilaannya di ruang grading dan berhasil meyakinkan produser untuk mengubahnya jadi 3:2. LOL. Baiklah. Kejutan yang menyenangkan karena ternyata, dengan aspek ratio ini filmnya jadi terasa lebih menyanyat hati.

Overall, senang sekali bisa ketemu dengan orang-orang yang sangat-sangat kolaboratif dalam produksi ini, baik secara kreatif, teknis maupun (ehem…) finansial.

Looking back, I think I will miss this team so much.

Terima kasih untuk semuanya, guys. Kalau Tuhan mengizinkan, semoga kita bisa kerja bareng lagi di kesempatan lainnya ðŸ’ž

LIKE & SHARE mulai tayang di bioskop seluruh Indonesia tanggal 8 Desember 2022. Kalau sempat, boleh ya ditonton 🙂

Leave a comment